Wajibkah Shalat Lima Waktu Berjamaah?
Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah (yaitu jalan dan petunjuknya) Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i.
Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah (yaitu jalan dan petunjuknya) Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i.
Bahkan ketika Rasulullah sakit pun
beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya
semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para shahabatnya.
Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk
melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.
Kalau kita membaca dan memperhatikan
dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush
shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada
kita akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid.
Diantara dalil-dalil tersebut
adalah:
1. Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’
bersama orang-orang yang Ruku’
Dari dalil yang menunjukkan wajibnya
shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala: “Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah:43).
Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy
Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: “Adapun
(dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya: “Dan ruku’lah bersama orang-orang
yang ruku’.” (Al-Baqarah:43).
Allah Ta’ala memerintahkan ruku’
bersama-sama orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam
ruku’ maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Mutlaknya
perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya.” (Bada`i’ush-shana`i’ fi
Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).
2. Perintah melaksanakan Shalat
berjama’ah dalam keadaan takut
Tidaklah perintah melaksanakan
shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya
hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman: “Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata…”. (An-Nisa`:102).
Maka apabila Allah Ta’ala telah
memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka
dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah
ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: “Ketika Allah memerintahkan shalat
berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib
lagi.” (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan
karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).
3. Perintah Nabi untuk melaksanakan
shalat berjama’ah
Al-Imam Al-Bukhariy telah
meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: Saya mendatangi Nabi dalam suatu
rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi
adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka
ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda: “Kembalilah
kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian,
apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang diantara kalian adzan
dan hendaklah orang yang paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah
dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya) diantara kalian mengimami kalian.”
(Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674,
1/465-466)
.
Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan
dan mengimami shalat ketika masuknya waktu shalat yakni beliau memerintahkan
pelaksanakannya secara berjama’ah dan perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan
atas kewajibannya.
4. Larangan keluar dari masjid
setelah dikumandangkan adzan
Sesungguhnya Rasulullah melarang
keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum melaksanakan shalat
berjama’ah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: “Rasulullah
memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu diseru shalat (dikumandangkan
adzan-pent) maka janganlah keluar (dari masjid, red) salah seorang diantara
kalian sampai dia shalat (di masjid secara berjama’ah-pent)
(Al-Fathur-Rabbani Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).
5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi
bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah
Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak
memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan
shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum
mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:
a. Keadaannya yang buta,
b. Tidak adanya penuntun yang
mengantarkannya ke masjid,
c. Jauhnya rumahnya dari masjid,
d. Adanya pohon kurma dan
pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e. Adanya binatang buas yang banyak
di Madinah dan
f. Umurnya yang sudah tua serta
tulang-tulangnya sudah rapuh.
Al-Imam Muslim telah meriwayatkan
dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu
berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun
yang mengantarkanku ke masjid”. Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi
keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya
keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya
lalu berkata: “Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?” ia
menjawab “benar”, maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah panggilan tersebut.”
Dan juga banyak dalil-dalil lainnya
yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi setiap muslim
yang baligh, berakal dan tidak ada ‘udzur syar’i baginya.
Kaum Muslimah Lebih Utama Shalat di
Rumahnya
Adapun bagi kaum muslimah maka yang
lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada di masjid, sebagaimana
disebutkan di dalam Al-Qur`an: “Wa buyuutuhunna khairullahunna” (dan
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits yang sangat
banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah. Tapi
apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh
dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus
memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi auratnya secara sempurna, tidak
memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan yang lainnya
yang telah dijelaskan para ‘ulama.
Syaikhul Islam menjelaskan bahwa
dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid lebih utama dari pada di
rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim) yang disampaikan oleh ahlus
sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ‘ilmu maka shalat di rumah lebih
baik daripada di masjid.
Mengambil Ilmu Agama Harus dari
Orang yang Benar Manhajnya
Dan perlu di ketahui bahwa kita
tidak boleh mengambil ‘ilmu dari sembarang orang, tapi harus dari orang yang
sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan
As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas manhajnya dan
bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot, menurunkan
kain di bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan mahramnya dan
lainnya dari perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallohu
‘alaihi wasallam ) maka tidak sepantasnya kita mengambil ‘ilmu darinya. Hal ini
telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Sirin, di mana dia berkata: “Sesungghunya
ilmu ini adalah agama maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dari
mana ia mengambil agamanya.”, dalam lafazh yang lain ia berkata: “Mereka
(salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika
terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan-pent) maka mereka
mengatakan: “sebutkan sanad kalian!” Maka ketika itu dilihat, apabila ‘ilmu
(hadits) itu datang dari Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya tetapi apabila
datang dari Ahlul Bid’ah maka ditolak haditsnya.” (Lihat Muqaddimah Shahih
Muslim).
Akibat yang jelek bagi orang yang tidak memenuhi panggilan untuk bersujud
Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk bersujud. Allah berfirman: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:42-43).
Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk bersujud. Allah berfirman: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:42-43).
Yang dimaksud dengan “seruan untuk
sujud” adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul
Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: “Mereka mendengar
adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya” (Ruhul
Ma’ani 29/36)
.
Dan sungguh tidak hanya seorang dari
salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas dasar inilah berkata
Ka’ab Al-Ahbar: “Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali terhadap
orang-orang yang menyelisihi dari (shalat) berjama’ah.” (Tafsir Al-Baghawiy
4/283, Zadul Masir 8/342 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/251).
Telah Berkata Sa’id bin Jubair: “Mereka
mendengar (panggilan) ‘Hayya ‘alal falaah’ tetapi tidak memenuhi panggilan
tersebut.” (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).
Berkata Ibrahim An-Nakha’iy: “Yaitu
mereka diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka enggan (memenuhi seruan
tersebut).” (Ibid).
Berkata Ibrahim At-Taimiy: “Yakni
(mereka diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan dan iqamah.” (Tafsir
Al-Baghawiy 4/283).
Dan sejumlah ahli tafsir telah
menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang
meninggalkan shalat berjama’ah. Atas dasar/jalan ini berkata Al-Hafizh Ibnul
Jauziy: “Dan dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan
shalat berjama’ah.” (Zadul Masir 8/342).
Berkata Al-Imam Fakhrurraziy
(tentang ayat): “Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk
sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:43), yakni
ketika mereka diseru kepada shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah
sedang mereka dalam keadaan sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam
ayat ini terdapat ancaman terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari
shalat berjama’ah dan tidak memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya
iqamah shalat berjama’ah.” (At-Tafsirul-Kabir 30/96).
Berkata Al-Imam Ibnul Qayyim: “Dan
telah berkata lebih dari satu dari salafush shalih tentang firman Allah Ta’ala:
“Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka
dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:43), yaitu ucapan mu`adzdzin: “hayya
‘alash-shalaah hayya ‘alal-falaah”.
Ini merupakan dalil yang dibangun di
atas dua perkara:
Yang pertama: bahwasanya memenuhi
panggilan itu adalah wajib
Yang kedua: tidak bisa memenuhi
panggilan tersebut kecuali dengan hadir dalam shalat berjama’ah.
Hal tersebut di atas (kewajiban
shalat berjama’ah di masjid-pent) adalah yang telah difahami oleh golongan yang
paling ‘alim dari ummat ini dan yang paling fahamnya yaitu dari kalangan para
shahabat radhiyallahu ‘anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).
Adapun yang menguatkan akan wajibnya
shalat berjama’ah juga adalah apa yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah bin
‘Abbas dari jeleknya akibat orang yang meninggalkannya. Sungguh Al-Imam Ibnu
Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Telah
berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang
malam tapi tidak menghadiri shalat jum’at dan tidak pula shalat berjama’ah,
maka ia berkata: “Dia di neraka.” (Al-Mushannaf 1/346 dan
Jami’ut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan Tuhfatul Ahwadzi).
Sebagai penutup kami bawakan
ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: “Apabila Engkau
melihat/mendapatkan orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan) dalam
masalah takbiratul ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya.” (Siyar
A’lamin Nubala` 5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).
Dari ucapan beliau ini, terdapat
isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan takbiratul
ihram dalam shalat berjama’ah. Maka seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan
aktivitasnya masing-masing.
Hendaklah ketika keluar atau
bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan dikumandangkan sebentar lagi
sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya memperhatikannya, apakah keluarnya
kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram atau tidak? Jika tidak,
lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat.
Semoga Allah menjadikan kita
termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Rasulullah, mengamalkannya,
menjaganya dengan sebaik-baiknya dan membelanya dari para penentangnya, Amin.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Mutiara Kalam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup
sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena
itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan
gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi,
Ad-Darimi dan lainnya dari Al-’Irbadh bin Sariyah, lihat Irwa`ul Ghalil no.
2455).
Maraji’:
1. Ahammiyyatu Shalatil Jama’ah, Dr.
Fadhal Ilahi
2. Dharuratul Ihtimam bissunnanin
Nabawiyyah, Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas
3. Shahih Muslim
4. Fatwa-fatwa Asy-Syaikh Al-Albaniy
(Sumber : Bulletin Al Wala wal Bara’
Edisi 38/01/2003. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah
Wal Jamaah Bandung. URL Sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=38&th=1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar